Senin, 06 Agustus 2007

Aina Anta Ya Jundullah...

Refleksi

Oleh: Fajar el-Shahwah


KETIKA majelis-majelis ilmu itu telah digelar; yang memuasi dahaga pengetahuan, yang mengobati luka kebodohan, tempat para jundi difasilitasi untuk menyegarkan fikrahnya, menggairahkan tsaqafahnya, menggelorakan keteladanannya; maka aina anta ya jundullah? Kami tak menjumpaimu di sana. Dalam hiruk pikuk madrasah ilmu, dalam terbata mereka mengeja, mereka belajar. Kami tak menjumpaimu di sana. Dimanakah engkau saat itu?

Tapi ketika engkau berargumentasi; engkau mengatakan bahwa ada amanah dakwah yang sedang engkau kerjakan, dan amanah itu jauh lebih penting untuk diprioritaskan. Atau bahwa menurutmu, majelis-majelis itu tidak serius dikelola, sehingga ia bisa memuasimu akan dahaga ilmu yang tak tertahan. Engkau menemukan celah catat yang berserak. Para asatidz yang terlalu sibuk dengan agendanya, para pengurus yang tidak becus manajemennya, kurikulum yang tidak jelas arah tujuannya, atau berserak kurang lainnya yang; ada saja! Mungkin benar semua yang engkau katakan; bahwa keterbatasan kemanusiaan kami menjadi penyebab semua kerugian yang akhirnya engkau rasakan. Untuk semua kelemahan itu, kami mohon maaf. Kami akan coba memperbaiki diri, mengevaluasi kekurangan, juga menyempurnakan celah cacat yang berserak itu. Tapi sungguh kami gelisah; karena kami belum benar-benar tahu, dimanakah engkau saat itu…

Ketika konsolidasi kekuatan, koordinasi sejumlah program, sekaligus pembekalan-pembekalan pengokoh fikrah dan pematang qalbu digelar, aina anta ya jundullah? Forum itu sungguh signifikan berperan bagi penguasaan masalah, penajaman analisa, hingga penemuan solusi cerdas kita, pendewasaan sikap dan mental kita, penguat basis pemikiran dan penemuan strategi cemerlang kita, pengokoh basyirah sekaligus pembening hati kita, bahkan pembakar gelora semangat yang makantar-kantar, tapi sekaligus pembukti ukhuwah, dan penguji militansi bagi kita. Tetapi di manakah engkau saat itu? Kami tak menjumpaimu di sana.

Engkaupun berargumentasi bahwa engkau tengah sibuk dengan sejumlah agendamu. Tugas-tugas akademis menuntutmu berada dalam kejaran waktu. Engkau tak berdaya menghadapi kenyataan-kenyataan dilematis kewajiban kuliahmu yang menurutmu; tak mampu berbagi waktu dengan beban dakwahmu. Atau engkau kecewa dengan stagnasi forum yang tak bergairah, bahkan mungkin tak berbuah muntijah bagi kebutuhan-kebutuhan beban dakwah, hilang produktivitasnya, konvensional formulasinya, dan sejumlah celah catat lainnya. Lagi-lagi engkau tunjukkan kepada kami betapa berserak lemah kami dan forum itu. Untuk semua itu, kami mengucapkan terima kasih atas kritik membangunmu, dan pada saat yang sama kami pohonkan maafmu bahwa lagi-lagi kami mendzalimimu, bahkan umat ini. Tapi terus terang kami masih gelisah, karena kami belum tahu sebenarnya di manakah engkau saat itu…

Ketika gemuruh suara itu membahana, riuh riang manusia-manusia itu berjalan di bawah terik matahari, tapi tetap tersenyum dengan teriak yel berapi-api, “tolak Bush”, katanya, ”tolak gembong teroris itu”, tambahnya, dan sejumlah teriakan yang beragam membahana dengan semangat makantar-kantar, sambil terus merangsek ke depan, terus bergerak menuju ujung. Sayang sungguh sayang, lagi-lagi kami tercenung; aina anta ya jundullah? Aksi itu aksi kita bersama. Bahkan engkau mestinya menjadi garda terdepannya. Karena mestinya engkau letak keteladanan, di mana para yunior di garis perjuangan ini masih mengkiblat kepadamu. Tapi, dimanakah engkau saat itu ya syabab? Kami tak menjumpaimu di sana

Engkau bahkan masih memberi penjelas, penegas bahwa kita harus berbagi tugas. Tidak harus semua terjun ketika agenda dakwah begitu memadat. Banyak ruang kosong di sana sini yang harus terisi oleh sebaran kader yang harus terbagi. Dan engkau yang membagi sebaran itu, dan engkau yang memilih ruang lain itu. Kami tidak tahu, apakah sudah ada sekian qiyadah dalam barisan ini yang tak lagi mempunyai satu jalur instruksi. Atau mungkin atas alasan lain bahwa medan yang satu ini begitu memberat tantangan. Ketika terkadang harus berjalan panjang dalam panas terik yang membakar, atau berbasah ria dengan kebersamaan derasnya hujan yang mengguyur, atau terkadang dengan ketegangan-ketegangan ketika harus melawan aparat, merangsek, ditendang, dipukul, atau semprot gas air mata itu? Ataukah itu semua begitu menggentarkan sehingga nyali ini menjadi ciut? Kami tak tahu, atas alasan apa sebenarnya engkau tak kami jumpai di tempat itu…

Ketika instruksi para qiyadah menghendaki engkau ikut dalam medan tadrib. Di tempat penempaan Batu Seribu yang menantang itu, atau di Pantaran yang dari namanya sudah terbayang medan berat itu, atau Nglimut, atau Kedung Kayang, atau Sekipan, atau Segoro Gunung, atau Mojosemi, atau Tlogo Ndlingo. Semua nama itu begitu menggentarkan dirimu. Maka ketika kami sudah berada di garda terdepan sebagai mudarib, satu persatu kami cari di antara sekian banyak peserta itu; kami benar-benar dibuat gelisah karena kami tak menjumpaimu dalam barisan itu. Aina anta ya jundullah?

Engkau masih saja terus nyaman dengan semua jinawabmu. “kami sudah pernah ikut”, katamu. Bahkan sempat kami mendengar isyu pemboikotan itu yang entah berpangkal dari mana. Semua kembali terlontar. Sibuk akademis, sibuk rapat-rapat, sibuk dengan semua agendamu. Sebagai seorang jundi yang mempunyai qiyadah, kami tidak tahu dengan cara apa sebenarnya engkau memahami makna ketaatan.

Ingin lebih banyak kami mengurai gores luka menyayat itu, dalam berbagai kebersamaan liku jalan panjang terjal kita. Tapi cukup! Cukuplah di sini. Kami tak kuasa lagi. Menggerataki celah-celah salah kami. Menghadirkan serba gelisah resah kami. Atas semua fakta membekas luka itu. Sementara kami coba mencukupi deret peristiwa ini, tersisa satu resah bertambah kami hari ini, dalam acara ini; karena lagi-lagi kami tak menemukanmu di sini!

***

Apa yang sebenarnya terjadi? Kami mencoba merenung dalam. Banyak ternyata kami temukan rangkai peristiwa terhubung. Banyak kejadian dramatis yang memilu luka. Udara panas yang menyebarkan hawanya di atas kampus hijau ini ternyata dipicu oleh sejumlah ulah sebagian pasukan perjuangan ini, entah dalam kesadarannya atau karena kelalaiannya. Sebagian besar. Atau bahkan mungkin semua. Semua sedang melukai diri tak bersisa. Semua terlibat dalam andil suhu memanas yang mengerontangkan dahan hati, gersang jiwa ini. Kami tersadar bahwa kami merupakan bagian dari rasa sakit menyayat itu.

Marilah kita jujur melihat: fakta kebesaran jumlah kita ternyata sekadar tipu semu. Karena dalam kebesaran simbol itu kita tak berisi. Kita sungguh rapuh tak punya daya. Satu pukulan ringan, mungkin sudah cukup membuat jatuh tak berkemampuan bangkit lagi. Itulah senyatanya yang terjadi. Itulah realitasnya nasib kita hari ini.

Lihatlah lebih dalam pada masing-masing diri kita. Sadarlah segera akan hampanya temu batin dalam shalat-shalat kita menghadap-Nya. Tiada lagi nikmat indah yang berasa menyejuk itu. Kemanakah lari tilawah harian kita yang belepotan terbata-bata itu. Untuk menuntaskan target-target minimal yang menjadi standar ketangguhan ruhiyah kita tak lagi kuat kita capai. Kemanakah malam-malam hening tempat kita berdiri, ruku’, dan sujud penuh isak membasah pipi itu. Semua kini telah lenyap meninggalkan suara dengkur keras panjang menyambut fajar. Mungkin dengan alasan lelah yang sebenarnya tak seberapa itu, bahkan yang sebenarnya tak tepat sebagai kedok malas itu. Kemana juga berbagi waktu kita dengan penggalian ilmu, dengan pengasah fikir. Dengan dan dengan semua kebutuhan kita.

Kering terasa menyesak. Hampa sedemikian tak punya warna. Karena dalam semua sisa kekuatan yang telah remuk itu, terbuka lebar pintu inkhirafat fikr dan amal yang ngeri nganga. Baru kemarin terdengar berita seorang pejuang yang minta ijin undur diri dari kancah juang ini. Cuti sementara untuk memuasi hajat akademisnya yang belum seberapa menantang itu. Padahal ia tahu persis bahwa ia masih terlalu muda untuk merampungkan studi. Bahkan ia tahu persis bahwa undur dirinya itu berarti para seniornya yang tertatih membagi waktu dan pikiran semakin memberat dalam duka beban tak berpikul. Tapi ’ketegaan’ itu fakta yang terjadi.

Atau, sebelum itu seorang pejuang lain meminta ijin kepada komandannya untuk melanjutkan interaksi awal yang terlanjur berbuah simpati mendalam kepada lawan jenisnya. Dalam interaksi suci dakwah itu, dalam kebersamaan ukhuwah itu, ia tergoda untuk merubah haluan niatnya. Atau lihatlah sejumlah pejuang yang telah liar kehilangan manhaj akhlaknya; ketika para pemimpin tak lagi peka dan arif menjalankan kepemimpinannya; ketika para prajurit tak lagi memahami makna ketaatan kepada qiyadahnya; ketika para pejuang tak lagi terlihat tadzkhiyah amalnya, bersih oerientasinya, penuh istar ukhuwah persaudaraannya; itu semua fakta yang saat ini kita saksikan berserak ruah di depan mata telanjang kita. Dipertontonkan secara tragis, persis di hadapan kita. Wahai, apa gerangan yang sedang terjadi.

Gugurnya satu generasi; barangkali parade yang segera terpentaskan, mengukir sejarah perjuangan kita kali ini. Apa yang sangat menakutkan itu akan menjadi keniscayaan sebagaimana saat roda berputar tiada henti. Inilah mungkin kemestian sunnah yang telah bergaris jelas sesuai kehendak-Nya; yang kita tiada daya berbuat banyak untuk merubahnya. Tapi sungguh malang, jika kita memaksakan diri untuk menjadi bagian luka yang merobohkan kokohnya bangunan ini, hanya karena kenaifan kita, hanya karena ciutnya api perjuangan kita, hanya karena rapuhnya keyakinan, juga kepengecutan kita menjadi tumbal kebangkitan.

Para pendahulu kita telah mendendangkan sebuah syair cinta dan semangat juangnya; tentang kefahaman kita akan Islam, tentang rumitnya wilayah keikhlasan, tentang liku medan amal tuk bangun kejayaan umat, tentang jihad meninggikan kalimat ilahi, tentang ketaatan yang menuai berkah melimpah ruah, tentang tadkhiyah bukti kesetiaan, tentang tsabat menghadapi rintangan di garda terdepan perjuangan, tentang tajarrud, tentang tsiqah, juga tentang ukhuwah dalam menghimpun cinta para hamba-Nya.

Maka, jika engkau merasakan beban memberat dalam perjalanan ini, apakah engkau tidak ingat firman Allah swt., ”Wahai orang-orang beriman! Mengapa jika dikatakan kepadamu, ’Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah’, engkau merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah engkau lebih senang dengan kehidupan dunia dibanding akhirat? Sungguh kenikmatan dunia teramat kecil dibanding apa yang ada di akhirat.” [At-Taubah: 38]

***

Sayup terdengar dari kejauhan, gemuruh suara riuh senang sebuah kafilah. Terlihat wajah cerah nan sejuk bercahaya. Saling sapa dengan santun, tiada terlihat kelelahan, tiada terlihat beban menghimpit dalam wajah kasam berkerut. Mereka bersegera memenuhi panggilan, ketika Sang Pencipta telah berkehendak seperti dalam firman-Nya; ”Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka, masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” [Al-Fajr: 27-30]


Tapi tampak se
orang lelaki tua dalam barisan itu. Dengan rona wajah memutih, dengan gerak tubuh gusar-cemas. Ia seperti sedang menyimpan dalam; sebuah kekhawatiran, seberkas ketakutan. Ia cermati barisan yang dibersamainya itu. Ia pandangi satu per satu wajah para pejuang itu. Ada gelisah resah yang tiba-tiba semakin membuncah. Bagai tersambar petir ketika tersadar. Dalam keterpanaan yang menyesak itu, ada desah rendah yang terlontar sangat pelan; ”Aina anta ya jundullah? Di ujung perjalanan inipun, di garis batas kehidupan fana inipun, akhirnya tak kutemukan juga kesertaanmu”.[]

Tidak ada komentar: