Senin, 03 November 2008

Gairah Persatuan

Oleh: Fajar el Shahwah


LANGKAHNYA gontai. Hari-harinya menghabis dalam pedih-perih. Luka-lukanya menyayat kecewa, meninggalkan bekas-bekas pelepuh marah yang masih nganga. Rasa sakitnya ia simpan dalam diam yang memprihatinkan. Sungguh pikirannya sedang berkecamuk, hatinya sedemikian gelisah, jiwanya telah berontak, dan dadanya terasa begitu penuh sesak. Ia melangkah mencari sunyi. Ia mencoba kembali dalam perenungan, dalam pengasingan. Ia mencoba kembali mencari kejernihan telaga jiwanya, menemukan ketenangan kecipak air di hatinya, mengasah ketajaman firasatnya, kekuatan basyirahnya. Karena semua itu kini telah tiada, menghilang bersama deras arus sungai yang mengalir nun jauh di sana. Bersama hiruk-pikuk kehidupan yang menyesakkan.



Ia telah menyaksikan di rumah besar itu; wadah indah yang ia tumpangi saat ini sedang goyah. Ketegangan-ketegangan yang mengejutkan telah ia jumpai satu-persatu, persis di hadapannya. Sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya, bahkan jauh di luar kesadarannya. Keterkejutan itu, karena doktrin idealisme yang ia pahami telah terbantahkan secara tragis oleh perilaku empiris yang nyata ia saksikan, bahkan dipertontonkan secara langsung oleh mereka yang sebelumnya ia anggap orang-orang perkasa.
Para penghuni rumah besar itu, saat ini sedang mengalami guncangan konflik berkepanjangan, berkelarutan. Guncangan konflik itu seringkali terhijab rapat. Tapi terkadang riak-riak itu muncul ke permukaan, dan membuat keterkejutan-keterkejutan yang menegangkan, menggelisahkan, mengkhawatirkan. Ada cukup banyak variasi konflik itu. Dari sesuatu yang sangat remeh-temeh, sedemikian sederhana, hingga permasalahan-permasalahan yang cukup krusial, substansial, dan mempunyai nilai strategis. Mulai dari kecocokan sikap, perbedaan kepentingan, kekuatan pengaruh, pilihan-pilihan kebijakan, pun juga perbedaan pemikiran yang tidak saja berada pada ruang-ruang mutaghayyirat, tapi terkadang menyerempet wilayah-wilayah tsawabit, bahkan mungkin memasukinya.
Sementara sebenarnya; pada saat yang sama, semestinya penghuni rumah itu menyiapkan seluruh daya yang mereka punya untuk menyambut perhelatan akbar dalam kancah pesta besar yang telah di hadapan mereka. Perhelatan panjang yang telah menghabiskan umur generasi anak zaman sebelum mereka, juga generasi mereka, dan ujungnya mungkin akan selesai di jauh usia generasi setelah mereka. Karena sesungguhnya; usia perhelatan itu sama dengan usia kehidupan ini, usia peradaban ini.
Kumpulan perhelatan-perhelatan kecil telah dimulai dan berserakan di mana-mana, jauh sebelum saat ini. Ia bagaikan riak-riak yang pada saatnya mengelombang dahsyat, tapi pada saat yang lain meredup tak bertenaga. Dan penghuni rumah besar ini, sejak awalnya telah menjadi bagian riak-riak itu, telah mengikuti perhelatan-perhelatan kecil itu. Ketika dulu pada awalnya, mereka masih terlalu kecil. Tapi justru mereka begitu kokoh kuat, mereka begitu ditakuti. Waktu berjalan menambah usia kedewasaan fisik mereka. Waktu pula yang berjalan menambah sejumlah pengalaman dan interaksi mereka. Dan waktu jua yang pada akhirnya menyeleksi mereka.
Interaksi-interaksi dengan lingkungan luar yang liar itu telah menggilakan cara berpikir mereka, meliarkan cara bersikap mereka, dan meracuni perilaku mereka. Ada di antara mereka yang masih tetap kuat bertahan, bahkan memperkaya pengalamannya, menyempurnakan kekuatannya. Tapi ternyata begitu banyak di antara mereka yang terlena, lemah daya tahan dan ambruk sempoyongan sebelum sempat berhadap-hadapan dengan lawan.
Karena luaran yang liar itu telah memuntahkan racun ketertarikan, merusak wilayah pemikiran, menghancurkan sendi-sendi kekuatan, juga menggerogoti persatuan. Luaran liar itu telah melakukan serangan pada rumah besar itu tanpa sempat disadari oleh para penghuninya. Di luar kesadarannya, para penghuni rumah itu telah gagap beradaptasi terhadap perubahan-perubahan sikapnya, sehingga muncul silang sengketa, sehingga berdarah-darah pada akhirnya. Maka konflik itupun pecah memuntah. Bukan dengan para musuh nyata di perhelatan itu, tetapi justru dengan sesama penghuni rumah itu, di rumah besar itu. Dan tiba-tiba semua bisa menjadi picu, yang menyulut api konflik berkepanjangan, berkelarutan.
Itulah sebab langkahnya gontai. Itulah alasan hatinya resah, dalam paduan warna perasaan yang tiada lagi punya warna. Karena sesungguhnya, ia rindu akan semua kebaikan nilai yang dihasung para penghuni rumah itu ketika dulu, ia rindu akan kenyataan indah yang sempat ia rasakan bersama-sama penghuni rumah itu ketika dulu. Ia rindu akan kekuatan besar yang berwibawa itu, ia rindu akan kelembutan ukhuwah yang mempersaudarakan itu, ia rindu akan kedahsyatan iman yang menggelorakan itu. Sesuatu yang kini seolah lenyap tak berantah.
Itulah sebab langkahnya mencari sunyi. Mencoba kembali dalam perenungan, dalam pengasingan. Dan ia telah menemukan. Ia telah kembali. Ia telah merasakan tetes embun pagi kegairahan. Ia tahu jawabannya. Bahwa benar rumah besar itu, saat ini dalam keremangan, bahkan menuju kegelapan. Tapi ia sadar, bukan tempatnya ia mencela kegelapan. Yang harus dilakukan adalah menyalakan kembali obor yang menerangi. Karena keremangan itu, karena kegelapan itu, telah menjadi sebab mereka tiada saling mengenali. Maka ia harus segera menyalakan obor kegairahan yang menerangi, dan mereka harus menghidupkan cahaya persatuan yang mengkonsolidasikan. Maka, gairah persatuan itu harus segera digemakan.
Karena itulah letak kekuatan yang membanggakan.::

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mas, saya mungkin gak tau kondisi sebenarnya. tapi saya bukan tidak atu apa yang antum ingin sampaikan. banyak sudah saya dengar info soal ini.
saya mungkin tidak setegar antum. cuma saya cukup percaya, di sini, di Solo, saya masih menjumpai masih ada sekian ustadz, yang akan menjaga rumah ini. mungkin salah satunya antum.
bayangan saya terbang menuju perang uhud. jangan turun dari bukit uhud itu mas.